Minggu, 10 Juli 2016

Menanti Tarif Telepon Murah dari Isu "Interkoneksi"


Sumber Gambar: http://blog.prolificinteractive.com/wp-content/uploads/Couple-on-cell-phones-during-date.jpg

Komunikasi melalui telepon khususnya Telepon Seluler menjadi sebuah kebutuhan utama saat ini. Bahkan berdasarkan hasil penelitian seperti yang dilansir BBC.com, orang Indonesia menjadi pengguna ponsel nomor satu di dunia (06/05/2014). Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keberadaan telepon seluler bagi setiap orang di Negara kita. Memiliki ponsel tentu dibutuhkan pula pengeluaran keuangan khusus. Apalagi saat ini biaya komunikasi bisa dibilang mahal.

Murahnya biaya komunikasi menjadi impian bagi setiap orang. Keinginan akan hal itu juga merupakan hak masyarakat, mengingat media utama yang digunakan adalah frekuensi yang notabene milik masyarakat pula. Mencuatnya pemberitaan mengenai akan turunnya biaya interkoneksi operator ponsel menjadi kabar baik. Menteri Komunikasi dan Informatika bahkan telah mengemukakan hal ini dan mengambil tindakan sejak setahun lalu. Terakhir untuk tahun ini beliau bahkan berjanji merampungkannya pada akhir Juni 2016 seperti yang diberitakan CNNindonesia.com (30/06/2016). Namun di awal juli belum terlihat kejelasannya. Pembahasan ini semakin rumit dengan adanya perseteruan antara dua operator ponsel di Tanah air, seolah-olah adanya tarik ulur kepentingan.

Kembali keistilah interkoneksi, interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda (wikipedia). Secara sederhana pengertian interkoneksi adalah ketika kita berkomunikasi melalui ponsel baik itu menghubungi ataupun dihubungi oleh lawan komunikasi menggunakan operator berbeda. Setiap melakukan interkoneksi dibutuhkan biaya khusus yakni berdasarkan aturan yang berlaku saat ini biayanya adalah Rp. 250. Ini dapat kita rasakan sendiri ketika kita melakukan panggilan ataupun SMS ke operator lain biayanya lebih besar dibanding bila sesama operator. Untuk mengatasi ini kita justru memilih menambah kartu SIM dengan operator yang berbeda yang sudah tentu menambah beban pengeluaran baru dan menjadi pemborosan, silahkan baca juga artikel Selamat Tinggal Dual SIM?

Berbagai pendapat pakar dengan argumentasi berbeda melengkapi isu terkait dengan rencana turunnya tarif interkoneksi ini.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menjelaskan pendapatnya seperti yang dirilis JPNN.com (28/06/2016), penurunan tarif interkoneksi harus semata-mata dilakukan demi kepentingan publik, sehingga prioritas yang dilakukan juga untuk kepentingan konsumen. Biaya yang mahal akibat aturan ini tidak seharusnya dibebankan pada konsumen, jika pemerintah bisa mengatur tarif tersebut.

Senada dengan hal tersebut, Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi mengatakan (Republika.co.id 15/06/2016), pemerintah harus berani menurunkan tarif interkoneksi secara signifikan mengingat seluruh provider telekomunikasi di Indonesia tengah berkembang dan semakin efisien. Buah dari kompetisi adalah kualitas harga yang bersaing. Dominasi di wilayah tertentu seringkali membuat operator menetapkan tarif seenaknya. Ini bukti kompetisi tak terjadi, pemerintah wajib intervensi. Lebih jauh ia memaparkan sudah seharusnya regulator meninjau ulang aturan itu mengingat saat ini tarif telepon sesama operator jauh lebih murah dibanding tarif interkoneksi atau antar operator. Keadaan inilah yang memberatkan pelanggan dan secara tak langsung mengarah pada praktek monopoli. Masyarakat cenderung memilih operator yang murah biaya telepon sesama operator. Mungkin menurut sebagian kalangan hal ini wajar saja, namun Heru menilai, adanya kecurangan berusaha. Pasalnya, ketika di suatu daerah di Indonesia hanya satu operator itu yang memiliki jaringan prima, maka penentuan tarif menjadi tak wajar.

Sementara itu pendapat berbeda yang diungkapkan Ketua Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi (JPNN.com  28/06/2016), memang secara logika tarif telekomunikasi akan turun seiring dengan turunnya tarif interkoneksi. Namun, perlu diperhatikan bagaimana operator besar membangun jaringan di pelosok. Seperti Sebuah operator yang membangun jaringan di luar Jawa. Kualitas berbanding lurus dengan harga atau tarif. Dia meminta tarif interkoneksi ini dilihat secara menyeluruh. Sementara operator lain yang lebih kecil, yang tidak mampu membangun jaringan di luar Jawa akhirnya memang harus menerima kenyataan. Di sisi lain, Tulus melihat operator besar akan terganggu dengan jaringan sistem mereka yang terbebani. Karena jaringan atau sistem terbebani trafik operator lain yang tidak membangun jaringan. Singkat kata, ia meminta pada pemerintah untuk memberi hak khusus bagi operator yang membangun infrastruktur di daerah terpencil.

Dipihak penenentu kebijakan, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan (Republika.co.id 15/06/2016), pihaknya selalu terbuka atas masukan dari stakeholder terkait rencana pemerintah menurunkan biaya interkoneksi. Namun dikatakannya, pemerintah telah memiliki hitung-hitungan sendiri soal penurunan biaya interkoneksi. Pada dasarnya, keputusan pemerintah menurunkan biaya interkoneksi tersebut merupakan langkah agar industri telekomunikasi lebih efisien.

Realitas yang kita alami saat ini sebagai pengguna telepon seluler memang masih jauh dari kata puas. Selain dari biaya panggilan dan SMS lintas operator yang terbilang mahal, sesama operatorpun yang katanya lebih murah namun masih disertai dengan syarat tertentu dan berbagai batasan. Belum lagi layanan-layanan operator seluler lainnya yang mengecewakan, masih banyak wilayah-wilayah yang tidak dijangkau oleh jaringan seluler khususnya di Indonesia Timur, bilapun ada teknologi yang digunakan sebagian besar masih tertinggal. Ditambah lagi layanan-layanan yang dianggap tidak penting bahkan mengganggu semisal SMS promo ditengah malam atau waktu istirahat.
Sebagai masyarakat awam, tentu kita tidak mau terlalu tau dan dipusingi dengan isu interkoneksi atau apapun itu, kita hanya mengharapkan dan menanti murahnya biaya komunikasi. Pemerintah sebagai pengambil keputusan dan penentu regulasi/aturan memang sewajarnya memperhatikan dunia industri dalam hal ini operator seluler namun yang tak kalah pentinnya adalah bagaimana aturan atau kebijakan itu harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
   (hR)

Sumber:
- http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/06/140605_majalah_ponsel_indonesia
- http://www.jpnn.com/read/2016/06/22/443845/Penurunan-Tarif-Interkoneksi-Harus-Utamakan-Kepentingan-Konsumen-
- http://trendtek.republika.co.id/berita/trendtek/internet/16/06/15/o8swl9313-tarif-interkoneksi-turun-30-persen-operator-makin-efisien