Foto Ilustrasi |
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran mengamanahkan agar setiap Stasiun TV Berjaringan wajib menayangkan siaran yang bermuatan lokal dimana stasiun jaringan tersebut berada.
Secara spesifik dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No. 43 Tahun 2009, Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi, menjelaskan bahwa setiap stasiun penyiaran lokal harus memuat siaran lokal dengan durasi paling sedikit 10% dari seluruh waktu siaran per hari, dan bertahap naik menjadi paling sedikit 50 % berdasarkan perkembangan kemampuan daerah dan lembaga penyiaran bersangkutan.
Meruntut di awal, Lembaga Penyiaran Swasta Nasional yang kita kenal saat ini seperti TRANS7, TRANS TV, RCTI, SCTV, ANTV, TV ONE, METRO TV dan sebagainya diharuskan memiliki stasiun jaringan di daerah untuk memperluas cakupan wilayah siarannya.
Seiring dengan keberadaan stasiun jaringannya di daerah, dengan serta merta pula stasiun tersebut oleh regulasi pemerintah diwajibkan untuk menyiarkan siaran lokal seperti yang dimaksud diatas selain menayangkan program siaran yang bersifat nasional.
Dalam Standar Program Siaran (SPS) yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Nasional sebagai Lembaga yang diberi wewenang untuk mengatur hal-hal mengenai penyiaran, mendefinisikan bahwa program lokal adalah program siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual, dan program siaran nonfaktual dalam rangka pengembangan potensi daerah serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran daerah setempat.
Dengan mengaitkan UU No. 32 Tahun 2002 dan Permenkominfo No 43 Tahun 2009 maka dapat ditarik beberapa poin, yakni pertama adalah program lokal harus dilaksanakan antara 10-50 % dari seluruh waktu siaran dalam sehari semalam, kedua adalah program tersebut harus variatif yang memuat dan bertujuan untuk pengembangan potensi daerah, serta yang ketiga adalah diproduksi di daerah oleh sumber daya manusia setempat pula. Dari ketiga poin tersebut diatas sangat jelas bertujuan demi desentralisasi pertelevisian di negeri ini.
Sebagaimana kebijakan diberbagai aspek mengenai desentralisasi, pada sistem pertelivisian juga tidak berjalan lancar dan mulus sesuai konsep tekstual dalam aturan yang ada. Begitu banyak hambatan yang harus dibenahi secara bertahap oleh semua pihak sehubungan belum meratanya pembangunan diberbagai aspek.
Sebagai contoh minimnya ketersediaan SDM profesional bidang pertelevisian di daerah. Pemahaman, implementasi dan penegakan aturan di daerah hingga penciptaan regulasi pendukung pemerintah setempat yang masih dipersoalkan. Disatu sisi seolah ada kecenderungan pengusaha yang ragu menanamkan modal secara merata mengingat investasi dibidang pertelevisian dan espektasi hasil yang diperoleh belum berimbang, serta berbagai pertimbangan lainnya.
Secara sederhana, permasalahan dan hambatan mengenai siaran lokal ini dapat dipetakan dengan tiga kepentingan dasar. Sebagaimana diketahui bersama bahwa frekuensi yang digunakan oleh TV Berjaringan merupakan milik masyarakat dan tentu seharusnya pula menjadi hak untuk digunakan memakmurkan masyarakat. Dilain pihak Bisnis pertelivisian merupakan investasi yang sangat besar dan kompleks sehingga untuk menghasilkan profit atau keuntungan harus dikelola secara hati-hati dan profesional. Bagian yang tak kalah pentingnya adalah SDM pertelevisian, lantaran pertelevisian adalah industri kreatif maka sudah tentu pula dibutuhkan orang-orang yang kreatif dan profesional dibidangnya, mulai dari manajemen pertelevisian, produksi, teknik, pemasaran, jurnalisme, legal officer/hukum, serta keahlian-keahlian lain yang mendukung seluruh proses pertelevisian.
Misalnya saja untuk membuat sebuah program, begitu banyak kru dan begitu kompleks proses yang terjadi. Dimulai dari riset dan penentuan program yang akan dibuat, pemasaran terhadap program yang telah ditentukan untuk menarik pengiklan, legalitas dan sensor isi siaran, proses produksi hingga pasca produksi yang menghasilkan sebuah program acara yang layak atau standar broadcast untuk kemudian dipancarkan dan diterima di televisi pemirsa.
Hambatan dan permasalahan tersebut merupakan tantangan sekaligus sebagai peluang bagi kita semua bila menghendaki berkembangnya pertelivisian nasional. Konsistensi dan idealisme akan penggunaan dan pengawasan frekuensi secara baik dan benar yang dilakukan oleh semua pihak, keberanian berinvestasi, serta membangun sistem yang menyiapkan SDM pertelevisian semisal penyediaan dan pengembangan lembaga pendidikan profesional mutlak menjadi solusi dan tugas kita bersama-sama tanpa terkecuali. Sehingga media televisi sebagai salah satu media termudah dan murah saat ini dapat dimanfaatkan secara maksimal.
hR
Oleh: Haris Bahar
Pustaka:
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No. 43 Tahun 2009, Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Melalui Sistem Stasiun Jaringan Oleh Lembaga Penyiaran Swasta Jasa Penyiaran Televisi
- Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran