Minggu, 01 Mei 2016

Refleksi Semangat Memajukan Pendidikan dari Film Won't Back Down

Sumber gambar: http://movie.co.idwp-contentuploads201601Wont-Back-Down

Tidak banyak film hollywood yang mengangkat tema pendidikan, bahkan mungkin film jenis ini tenggelam oleh kedigdayaan film dengan tema laga, fantasi, drama percintaan, heroisme dan sebagainya.
Dari sedikit jenis film bertema pendidikan, Won't Back Down layak menjadi perhatian untuk disimak.
Cukup menjadi alasan, meski dalam film tersebut menggambarkan sedikit sisi buruk dan kerumitan sistem pendidikan serta lika-liku kehidupan keluarga di negeri Paman Sam, namun  gambaran tersebut tidak jauh berbeda dengan kehidupan keseharian dan sistem pendidikan kita.


Bukan sebagai pengamat film dan jauh dari kata layak sebagai pakar pendidikan, penulis yang hanya berlatar ilmu kependidikan dan pernah menjadi seorang pengajar menganggap bahwa film ini dapat memberi inspirasi atau paling tidak mendeskripsikan sebagian kecil masalah dalam sistem pendidikan yang cukup ruwet dan real terjadi. Namun meski demikian dengan bermodalkan niat luhur, semangat, upaya maksimal, maka impian akan tercapai.


Kisah dalam film ini dimulai dari dua  single parent yang memiliki anak dengan kesamaan akan kemampuan belajar yang buruk. Seorang ibu, Jaime Fitzpatrick diperankan Maggie Gylenhaal penderita disleksia (ganggauan perkembangan kemampuan baca tulis usia dini) yang bekerja sebagai karyawan biasa dan memiliki anak, juga menderita disleksia yang belum bisa membaca dibandingkan anak seusianya, pindah dari satu sekolah ke sekolah lain dengan harapan buah hatinya bisa memperoleh didikan yang lebih baik.
Tidak jauh berbeda dengan ibu lainnya, Nona Alberts diperankan Viola Davis merupakan seorang guru,  memiliki anak yang sulit dan lamban menerima mata pelajaran akibat riwayat kecelakaan yang pernah dialami.

Latar belakang kehidupan keluarga keduanya dapat dikatakan miris, mereka gagal menjalin rumah tangga yang baik dengan pasangan masing-masing dan secara tidak langsung saling mempengaruhi perkembangan mental anak mereka.
 Masalah semakin bertambah ketika mereka menilai sekolah yang ada sangat diskriminatif, rendahnya kualitas guru dan buruknya sistem terkhusus metode belajar yang diterapkan.
Keduanya dipertemukan saat Jaime Fitzpatrick memasukkan pada sekolah yang prestasinya biasa-biasa saja atau bahkan kategori buruk tempat Nona Alberts mengajar.
Pada suatu ketika, Mereka kemudian menjadi dekat kala anak mereka memiliki kesempatan mengikuti undian untuk masuk ke salah satu sekolah  lain yang dinilai faforit.
Karena gagal diterima, mereka bersama-sama berusaha untuk menemui pemilik sekolah faforit tersebut. Bukannya menemui kepala sekolah tapi malah keduanya terlibat perdebatan, yang berdampak semakin intensnya komunikasi hingga  kemudian muncul ide yang berlebihan untuk membangun sebuah sekolah yang memenuhi kebutuhan anak mereka.

Untuk mewujudkan rencana mereka, tidak cukup mudah karena butuh waktu berbulan-bulan dan usaha yang keras dan kompleks untuk meloloskan proposal mereka ke Dewan sekolah yang menentukan bisa tidaknya didirikan sebuah sekolah baru di kota mereka. Jaime Fitzpatrick berlatar belakang marketing atau administrasi memposisikan dirinya untuk mengurus persiapan administrasi dan menghimpun dukungan calon orang tua murid sementara Nona Alberts berperan untuk merencanakan sistem pengajaran, melobi guru di sekolah tempatnya mengajar, hingga melobi dewan sekolah.
Perjuangan mereka tidak mudah, berbagai tantangan dihadapi mulai dari masalah keluarga, penolakan sebagian rekan guru dan yang terberat adalah hambatan Asosiasi guru yang merasa terganggu dengan kehadiran wacana tersebut. Bahkan Jaime Fitzpatrick sempat ditawarkan untuk memasukkan anaknya di sebuah sekolah terbaik demi membatalkan niat mereka.
Meski perjuangan cukup berat mereka berdua berjibaku menyelesaikan tahap demi tahap proses yang harus dilewati. hingga puncak suka cita berakhir dengan diterimanya proposal mereka pada sidang penentuan oleh Dewan sekolah yang berlangsung cukup alot.

Ada begitu banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari film yang belum lawas ini. Sebuah perjuangan pantang menyerah dari kondisi dan keterbatasan yang ada, tentang ketulusan kasih sayang dan prinsip yang terbangun baik personal maupun kolektif, kepekaan terhadap sistem pendidikan,  hingga besarnya peran asosiasi guru didalamnya. Sebuah refleksi perjuangan bapak pendidikan bangsa ini Ki Hadjar Dewantara membangun pondasi kependidikan yang dimulai dari rasa kepedulian, ketidakadilan dan ketimpangan masyarakat dalam mengenyam pendidikan dikala itu. Dengan menyaksikan film ini penulis merasa ini cukup menjadi koreksi tentang sistem pendidikan yang ada saat ini, paling tidak seperti apa sistem atau kondisi perkembangan pendidikan di lingkungan keluarga kita. atau mungkin cukup untuk menjadi pemicu ide demi memperbaiki sistem pendidikan dimulai dari skala terkecil.
   hR.

Sumber: Film Won't Back Down