Kamis, 03 September 2015

Idealisme VS Pragmatisme Stasiun TV




Baru-baru ini tepatnya tanggal 24 agustus kita memperingati hari Televisi Nasional, secara matematis usia pertelevisian nasional sudah mencapai beberapa dasawarsa. Namun dalam dasawarsa terakhir, kita yang memiliki atensi khusus terhadap program siaran televisi sering mengernyitkan dahi. Setiap harinya hampir diseluruh stasiun TV tersuguh program-program yang menurut kita kurang layak, jauh dari nilai-nilai edukasi dan cenderung mengikis nilai-nilai budaya ketimuran.
Mulai dari tayangan sinetron maupun film televisi yang dengan gamblang mempertontonkan adegan antagonis, memamerkan keangkuhan, kemewahan, mengisahkan tentang fantasi-fantasi diluar nalar, menyajikan kisah dan adegan asmara dibawah umur, mengeksploitasi artis dan orang-orang tertentu, atau mengumbar kegembiraan secara berlebihan. Tidak cuma itu, adapula yang konon katanya produk-produk pers namun secara intens menayangkan berita untuk kepentingan politik pemilik stasiun TV atau kelompok tertentu, dan parahnya lagi sekaligus menyiarkan pemberitaan yang dikemas sedemikian rupa untuk menyerang lawan politik atau kelompok lain.

Televisi yang menjadi salah satu media hiburan yang murah dan mudah diakses justru jadi memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Semua seolah terasa berpihak pada kepentingan bisnis dan secara khusus untuk kepentingan pemiliknya atau bisa disebut sebagai kepentingan Pragmatisme dan oportunisme.
Fenomena-fenomena ini kemudian terbenturkan dengan nilai-nilai idealisme, nilai yang seharusnya dipertahankan, tidak terkecuali pada tayangan-tayangan televisi sebagai salah satu wadah informasi dan pendidikan.
Istilah Idealisme merupakan istilah yang tidak asing bagi kalangan akademisi. Idealisme adalah sebuah paham aliran filsafat yang pertama kali dicetuskan oleh Leibnes,  memandang mental dan ideasional sebagai kunci ke hakikat realitas. Mengerucut pada pandangan Fitche seorang filsuf jerman yang menyandarkan keunggulan moral untuk sebuah etika manusia yang ideal. Sementara Pragmatisme yang digagas oleh William James  adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.
Dan belakangan maknanya perlahan bergeser mengarah pada aliran pemikiran Oportunisme, yaitu suatu aliran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu. Secara sederhana tayangan-tayangan buruk dan marak seperti yang disebutkan diatas cenderung tidak idealis atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku sebagai patern bertindak dan berprilaku dalam keseharian kita, dimana tayangan-tayangan tersebut hanya menguntungkan pemilik stasiun Televisi.

Diterima atau tidak, berdasarkan survei Nielsen Media Research membuktikan bahwa tayangan-tayangan yang dianggap buruk tersebut memiliki reting tinggi dan cenderung mengangkat stasiun TV bersangkutan berada di urutan teratas dalam deretan stasiun-stasiun TV nasional.
FX Ridwan Handoyo (Badan Pengawas Periklanan P3I) mengemukakan seperti yang dilansir TV Mu beberapa waktu lalu bahwa para pengiklan tentu akan memasang iklannya pada program acara yang reting-nya tinggi. sehingga dari fakta ini kemudian menjadi efek domino yang tidak dapat dihindari.

Tidak untuk menghakimi, tapi bisa dipastikan berdasarkan survei Nielsen tersebut, sebagian besar masyarakat justru cenderung menonton program-program yang "kualitasnya" buruk.
Walaupun memang dalam survei itu telah mengklasifikasikan pemirsa TV dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang berbeda-beda. Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa kesalahan tidak hanya terletak pada stasiun-stasiun TV yang ada, melainkan diperlukan peran masyarakat  dalam memilih, menonton, dan mengontrol program acara TV.

Bukan tanpa harapan, meski samar namun perlahan telah terlihat peran masyarakat dalam mengontrol program acara TV, tidak jarang acara TV tertentu dihentikan karena protes dan kritik pemirsa. Sebenarnya hak masyarakat mengenai ini telah diatur oleh Undang-undang. Tepatnya dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional. Selanjutnya Ayat 3 lebih rinci menjelaskan bahwa Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
Pengajuan ini dapat langsung dilakukan ke stasiun TV bersangkutan atau melalui KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) maupun KPI Daerah di masing-masing Provinsi di Indonesia. KPI merupakan Lembaga Negara Independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran salah satunya sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Sementara itu dipihak stasiun TV, seperti yang dijelaskan praktisi dan pengajar pertelevisian Dr. Ishadi SK., M. Sc. dalam lansiran TV Mu, idealisme vs pragmatisme/bisnis di stasiun TV tidak bisa dihindarkan, Siaran atau program TV yang terlalu idealis menjadi kurang menarik dan akan ditinggalkan pemirsa, sementara Stasiun TV yang hanya mengedepankan kepentingan bisnis atau kepentingan pemiliknya juga tidak akan bisa bertahan. Yang menjadi penyeimbang diantara keduanya adalah Opini Publik, Regulasi atau aturan yang berlaku dan pressure. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah profesionalisme pekerja TV itu sendiri yang menjadikan penyeimbang antara idealisme dan pragmatisme tersebut.

Program TV yang idealis diharapkan dapat menjadi menarik tanpa mengabaikan pragmatisme/kepentingan bisnis, tugas ini dilakukan oleh pekerja TV dengan kreativitas dan profesionalismenya, peran masyarakat pun harus semakin cerdas dalam menonton yang semestinya sebagai implikasi sosialisasi optimal dari KPI dan pihak terkait, serta dukungan pemerintah dalam berbagai aspek untuk memajukan penyiaran indonesia, dari hasil sinergitas inilah yang kemudian mewujudkan tujuan penyiaran dan penggunaan frekuensi yang notabene milik masyarakat dan digunakan pula untuk kemakmuran masyarakat itu sendiri. (hR)

oleh: Haris Bahar


Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Idealisme#cite_note-Bagus-1
https://id.wikipedia.org/wiki/Pragmatisme
https://id.wikipedia.org/wiki/Oportunisme
Undang-undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Dr. Ishadi SK., M. Sc. Wawancara oleh TV Mu (Muhammadiyah) 22 Agustus 2015.
FX Ridwan Handoyo. Wawancara oleh TV Mu (Muhammadiyah) 22 Agustus 2015.

Perhatikan Ini Saat Minta Slip Tilang Biru

Beberapa waktu lalu beredar testimoni dan tulisan-tulisan di media/jejaring sosial yang menyarankan para pelanggar lalu lintas untuk meminta slip biru bila ditilang. Bukan tanpa alasan, konon katanya dengan slip biru tersebut, pelanggar disamping mengakui kesalahannya juga bersikap idealis dengan membayar denda langsung kepada negara melalui bank yang telah ditunjuk.

Saat ditilang memang ada tiga cara yang menjadi hak kita untuk menentukan pilihan mana yang akan kita ambil. Memilih jalan "damai", meminta slip warna merah atau meminta slip warna biru.

Sudah menjadi rahasia umum bila ditilang kita bisa "berdamai" dengan oknum Polantas yang menilang. "Berdamai" biasa dilakukan dengan menghubungi kenalan/keluarga yang juga oknum serta memiliki keterkaitan dengan oknum polantas penilang, entah rekan ataupun atasannya. Selain itu "berdamai" juga dilakukan dengan menyerahkan/menyogok oknum uang nominal tertentu sehingga kita sudah terbebas dari pelanggaran yang dilakukan saat itu. Saat menyogok memang nominalnya tidak sebanyak denda yang ditentukan oleh peraturan dan relatif tidak menyita waktu kita tapi sangat jelas kita telah melakukan penyogokan dan semakin memperburuk mental diri kita, masyarakat dan hukum kita, khususnya aparat yang mestinya kita banggakan.

Pilihan berikutnya adalah dengan meminta Slip warna merah, bila memilih slip ini berarti kita tidak mengakui pelanggaran yang dilakukan dan konsekwensinya kita siap meluangkan waktu untuk mengikuti sidang yang ditentukan oleh pengadilan. Pilihan ini memang sedikit merepotkan dan menyita waktu namun denda yang dibayar juga nominalnya tidak sebanyak denda maksimal dan tentu disesuaikan oleh hasil putusan sidang, serta yang terpenting lagi denda yang diserahkan langsung masuk dalam kas negara.

Pilihan berikutnya adalah meminta slip biru saat ditilang. Hal ini dilakukan bila kita dengan sadar melakukan pelanggaran disengaja ataupun tidak. Denda yang dibayar adalah nominal maksimal sesuai pelanggaran dan aturan yang berlaku. Denda langsung dibayarkan/ditransfer ke Negara melalui bank tertentu. Memilih slip ini memang idealis, kita tidak melakukan penyogokan dan juga tidak merepotkan ataupun tidak membutuhkan waktu berhari-hari, cukup membayar denda kemudian mengambil slip pembayaran dari bank, serta surat tilang slip biru yang telah dibubuhi tandatangan dan stempel oleh teller bank bersangkutan untuk diserahkan ke bagian tilang satuan polantas setempat sebagai penebus benda yang disita berupa SIM, STNK dan sebagainya.

Namun yang perlu diperhatikan saat meminta slip biru agar tidak merepotkan kita, pastikan nomor rekening bank yang dituju dan minta keterangan polantas yang bersangkutan mengenai ini. Berdasarkan pengalaman penulis, nomor rekening tersebut merupakan nomor rekening kejaksaan negeri setempat.

Sebagai penutup tulisan ini, untuk mengingatkan penulis sendiri dan pembaca, sudah seharusnya kita dengan sadar berupaya untuk tidak melakukan pelanggaran berlalu lintas yang secara langsung akan berdampak terhadap diri kita sendiri dan orang lain.
hR,

Salam...

(sumber: beberapa artikel dan pengalaman pribadi)